Kemarin siang, sepulang sekolah, sambil menunggu saya membuka pintu, Arel bergumam di depan rak sepatu. Awalnya tidak terdengar, lalu saya menajamkan telinga. Ternyata dia sedang menunjuk-nunjuk tulisan di salah satu kotak sepatu dan berkata, ” d “. Memang ada huruf ‘d’ di kotak itu.
Saya mengenalkan alfabet pada Arel pada bulan September yang lalu. Hanya mengenalkan, tidak memintanya menghapal atau membacanya. Satu huruf per hari. Itupun dengan cara bermain dan mendongeng. Saya tulis huruf ‘c’ pada gambar wortel (c =carrot) lalu saya sembunyikan di kebun buatan dari rumbai biru; memintanya untuk memanen huruf C sambil berkata C kalau ia menemukan wortel.
Saya buatkan buku dongeng pop-up tentang kanguru, koala dan kelinci untuk mengenalkannya pada huruf ‘k’. Saya memintanya melukis di huruf ‘L’ dan masih banyak lagi.
Sejak saat itu ia mulai tahu bahwa ada sesuatu yang bernama “huruf” di sekitarnya. Ia mulai sering bertanya “itu huruf apa?” jika melewati papan iklan di jalan atau saat membaca buku.
Saya mulai mengenalkannya pada konsep matematika sejak Arel mulai bisa bicara di usia 13 bulan. Jangan bayangkan saya mengajarkannya 1 + 1 = 2. Bukan.
Ketika ia meminta apel, saya mengatakan, “ini 1 apel untuk Arel,” untuk mengenalkannya pada konsep jumlah. Saya mengajaknya menimbang tepung dan menakar susu saat membuat kue bersama untuk mengenalkannya pada konsep berat atau volume. Saya memintanya membandingkan bajunya dengan baju ayahny untuk mengenalkannya pada konsep besar kecil.
Ketika tangan kecilnya sudah mulai bisa menggenggam dengan baik, saya ajak Arel melukis dengan kuas. Dia senang sekali. Setiap hari minta melukis. Saya mengajaknya mencampur warna dan bercerita tentang pelangi yang punya 7 warna. Saya tidak ribut dengan caranya memegang kuas atau ia membuat matahari berwarna ungu.
Saya membelikannya poci teh kecil lengkap dengan cangkir kecilnya agar ia belajar menuang dan melatih kekuatan tangan serta jarinya.
Ia suka memindahkan water beads dengan sendok ke dalam mangkuk.
Ia minta mengulek bumbu saat Eyangnya sedang membuat sambal. Sadar atau tidak kegiatan ini latihan dasar untuk menulis.
Mengapa saya menulis ini? Saya sedih. Beberapa teman saya menanyakan pada saya tentang tempat les calistung untuk anak-anak mereka yang masih balita. Saya sedih, saat membaca beberapa artikel yang mengatakan calistung itu membuat anak depresi dan stres.
Secara pribadi saya mengatakan, calistung tidak membuat depresi jika kita para orangtua mengenalkannya pada anak dengan cara yang menyenangkannya. Juga tidak perlu les. Kita bisa mengajarkanny di rumah. Rumah kita adalah sekolah yang lengkap sebenarnya.
Mengapa anak menjadi depresi saat belajar calistung? Karena mereka diburu waktu! Mereka menemukan paksaan tersembunyi “harus bisa” saat berkenalan dengan alfabet, angka, atau pensil. Bayangkan saja jika kita diminta memasak Escargot dalam waktu 1 jam padahal biasanya mentok masak opor ayam. Dalam 1 jam kita harus tahu escargot itu apa, bumbunya apa aja, cara masaknya bagaimana, belum belanja bahan-bahannya.
Alfabet, angka dan menulis adalah benda asing yang sebenarnya menakjubkan bagi anak-anak jika diperkenalkan dengan bermain, perlahan tapi berkesinambungan.
Kita bisa membuat rumah kita seperti film seri Sesame Street yang populer tahun 90-an. Menuliskan huruf pada kertas besar lalu menempelkannya pada benda di rumah agar si kecil terbiasa dengan huruf dan kata.
Atau mengajaknya berburu harta karun di rumah dengan peta sederhana dan memintanya menghitung jumlah harta karun yang ia temukan. Hal-hal semacam itu menyenangkan, mudah diingat karena disertai rasa bahagia.
Ada banyak blog parenting dan homeschooling yang memberikan ide-ide bermain dan belajar untuk calistung. Jadikan internet sahabat, carilah dan bacalah artikel-artikel tumbuh kembang anak. Ikuti seminar pendidikan untuk anak. Teruslah belajar lalu terapkan agar tidak sia-sia.