
-
Usahakan tersedia alat peraga saat belajar matematika. Saya tahu ini sedikit merepotkan jika Anda tidak punya, tapi percayalah, ini sangat membantu si kecil dan Anda dalam proses belajar.
- Kenapa harus ada alat peraga? Agar anak bisa langsung melihat kenyataan matematika. Alih-alih meminta mereka membayangkan secara imajiner, belajar dengan alat peraga lebih menyenangkan. Karena bisa disentuh, digerakkan, bisa juga berbunyi.
- Tidak selalu harus membeli. Anda bisa menggunakan segala sesuatu yang tersedia di rumah
- Pahami dulu inti dan tujuan dari pembelajaran yang sedang tersaji untuk anak. Bahasa lainnya, orangtuanya harus belajar dulu, memahami dulu. Bagaimana mau enjoy belajar dengan anak, kalau orangtuanya kebingungan sendiri.
- Turunkan harapan Anda terhadap anak hingga level terendah. What?! Why?
- Agar Anda tidak senewen sendiri kalau melihat si kecil tidak bisa mengerjakan latihannya. Itu artinya si kecil belum paham. Salah siapa? Ya bukan salah siapapun. Mungkin dia sedang tidak mood. Mungkin dia masih sedang mereka-reka pemahamannya sendiri. Tiap anak punya kecepatan dan cara memahami suatu ilmu baru secara berbeda.
- Nikmati prosesnya, dan ikuti alur belajar si kecil
- Ada beberapa anak yang bisa langsung fokus 10 menit tanpa jeda. Ada yang sedikit-sedikit harus jalan-jalan setelah 3 menit duduk, baru bisa fokus lagi. It’s ok. Beri mereka keleluasaan berproses. Toh sejatinya kita ini belajar untuk bersenang-senang, bukan sedang berlomba lari jarak pendek.
- Belajar membungkam mulut sendiri.
- Haa…ini nih kadang yang sering sulit saya lakukan. Jika melihat si kecil melakukan kesalahan dalam proses belajar, cobalah tahan diri untuk tergesa mengoreksi. Beri ruang kesalahan itu bagi anak, agar ia menemukan kesalahannya dan tahu cara memperbaikinya. Satu permen ditambah satu permen sama dengan dua. Lalu jika anak menulis angka 4, salah? Jelas salah. Tapi coba tanyakan alasan dia menulis empat. Siapa tahu nanti dia menjawab, “aku simpan dua permen di saku.” (Percayalah, saya sering mendapat jawaban ajaib seperti ini dari Arel)
- Libatkan sedikit imajinasi anak-anak dalam prosesnya. Make it fun.
Saya langsung gunakan contoh ya. PR Arel adalah mengurutkan angka terkecil hingga terbesar.
Pertama yang saya lakukan, adalah memanggil bala bantuan alias mengeluarkan alat peraga. Saya ambil papan, dan angka-angka magnet, juga beberapa montessori beads, dan gambar.
Saya tidak langsung membuka lembar soal milik Arel. Saya menata angka terkecil di bagian kiri hingga terbesar pada sisi kanan, lalu mengajaknya bermain. Saya bilang, mainan magnet di tangan saya adalah permen (karena anak-anak biasanya suka permen). Saya memintanya menempelkannya di papan sesuai angka yang tertera di sana. Pada bagian ini ia belajar konsep kuantitas sekaligus simbol angka.
Lalu saya minta Arel melihat papannya, semakin ke kanan, jumlah permennya kian banyak. Jadi angka kecil di bagian kiri, semakin besar ke arah kanan. Saya tempel gambar anak laki-laki dalam 3 ukuran untuk memudahkannya melihat perbandingan kecil besar.
Baru kemudian saya meminta Arel mengerjakan soal latihannya. Anda tahu, cara Arel mengerjakannya? Dengan bernyanyi. Ia membuat lagu sendiri.
“Angka one, kecil (sambil lihat papan), di kertas, ga ada, ga ditulis. Terus etu (dua), ga ada juga. Number etri (tiga), ada. Ditulis.”
Lagu apa coba begitu?! Ha ha….dan dia sengaja membunyikan angka dengan bahasa inggris-jawa.
Setelah 1 soal selesai. Arel akan berhenti. Lalu bertanya tentang kenapa kipas angin harus berputar (sambil lihat kipas angin di dekat tembok)? Jika dia puas dengan jawaban saya, dia akan melanjutkan lagi mengerjakan soalnya, sambil menyanyi lagi.
Mengerjakan soal itu sebenarnya bisa 10 menit selesai. Tapi karena Arel mengerjakannya sambil nyanyi, sambil diskusi tentang kipas angin, tentang tornado, tentang kodok, satu jam kemudian baru tuntas.
Dia senang, Emak tenang.
Masih bilang Math is my enemy?
Masih. Tapi sekarang saya sudah punya bala bantuan. Ciaaaatttt.
***