Saya berkenalan dengan nama Charlotte Mason (CM) pertama kalinya pada tahun 2016. Saat itu sedang menjelajah Pinterest dan tanpa sengaja menemukan artikelnya. Lalu beberapa akun Instagram dari penggiat pendidikan di rumah yang saya ikuti, beberapa kali menuliskan mereka mengikuti cara CM dalam membuat kurikulum dan kegiatan belajar anak-anaknya di rumah.
Tertarik dong saya. Apalagi dari beberapa pengamatan saya, metode ini tampak lebih sederhana, luwes, tidak memerlukan banyak apparatus mahal dan mudah diikuti.
Jadi ketika Charlotte Mason Indonesia (CMI) mengadakan workshop di Surabaya pada akhir September lalu, saya meniatkan diri untuk ikut.
Tema workshop nya adalah membangun karakter anak. Ya…seringkali, di era milenial yang serba digital dan sangat cepat ini, kita jadi ‘memaksa’ anak – anak untuk bersiaga menghadapi tuntutan kerja masa depan; tapi kurang menyiapkan kepribadian mereka. Nah, Mbak Ellen Kristi sebagai penggagas CMI, pada kesempatan yang lalu memberikan materi tentang membuat karakter anak-anak sekaligus Emaknya ini bisa tetap kuat dan baik, tak lekang oleh jaman.
Dimulai dari mengerjakan tugas pribadi untuk tiap peserta. Tugas dari Mbak Ellen sebenarnya itu gampang. Hanya diminta bercerita tentang masa kecil peserta, masa menyusui si kecil, dan keluhan dalam pengasuhan anak yang kami alami. Tapi saya jadi baper tingkat dewa karena harus mengingat perjuangan keluar dari post pantrum depression yang saya alami dulu. Jadi Mbak Ellen ketiban sampur baca tugas dari saya yang mirip cerpen jaman majalah Aneka masih terbit 😅.
Berbekal dari tugas ini, pertanyaan pertama saat Workshop adalah
“Seberapa sulit menjadi orangtua?”
Hayooo…dijawab. Segampang-gampangnya jadi orangtua, pasti ada masa yang bikin kita hentak-hentak kaki.
Salah satu yang terberat yang saya rasakan setelah menjadi seorang ibu adalah mengendalikan emosi. Ini tidak hanya tentang ngomel-ngomel atau marah-marah; tapi juga rasa cemas, gembira maupun sedih. Kadang menjadi ibu terlihat seperti seorang Juggler yang memainkan banyak bola di tangannya. Ia harus dengan lihai merasakan dan menyeimbangkan pijakan kakinya, menangkap-lempar bola bergantian, dan tetap bisa tampil dengan senyuman menyenangkan.

Sudah harus mengendalikan diri sendiri, masih ditambah si kecil ini tipe anak yang kalau dikasi tahu, atau diminta melakukan sesuatu, berkelit melulu. Atau ada juga yang malah harus dapat alasan yang jelas baru dia mau melakukan yang diperintahkan orangtua. Contoh ya,
“Kak, sudah jam 8 malam. Waktunya tidur.”
“Nggak mau. Kenapa kita harus tidur kalau malam? Kenapa aku harus tidur jam 8? Kenapa nggak nanti aja tidurnya?”
Pasti pernah ya.
Kalau setiap hari seperti ini, bagaimana? Iya kalau pertanyaannya hanya itu, dijawab selesai, langsung tidur. Kalau nggak?
Kalau pas tanduk Mamanya keluar ditanya begitu, bagaimana? Iya, kalau anaknya diam kapok dipelototin Mamanya? Lha kalau malah tantrum teriak-teriak, siap?
Itu baru urusan jam tidur. Belum menu makanan, belum mandi, belum berangkat sekolah, belum a be ce de el el….
Masa tiap hari berantem melulu sama anak perkara beginian? Kok kayaknya menyedihkan sekali keseharian para ibu ini ya.
Nah, disinilah letak pentingnya habit of Obedience. Patuh tanpa kata tapi.
Honestly¸ ketika saya berkenalan dengan gagasan ini beberapa tahun yang lalu, saya menolaknya. Itu terdengar membosankan dan sangat kaku. Khas orangtua kuno yang suka main perintah tanpa boleh dibantah. Apalagi teori parenting kekinian banyak menghembuskan pemikiran
‘orangtua tidak boleh terlalu otoriter’
‘anak-anak perlu kebebasan menjadi diri sendiri’
‘bentakan akan membuat neuron di otak anak terbakar’
Sound familiar, Mom?
Yup. Banyak teori parenting yang terdengar seperti ini menjadikan banyak orangtua (termasuk saya) mengalami ketersesatan.
Seringkali teori-teori seperti ini memunculkan persepsi bahwa orangtua yang menunjukkan ‘otoritas kekuasaan’ di depan anak-anak adalah orangtua yang otoriter dan berdampak buruk pada anak-anak.
Really?
Ada yang pernah mengalami contoh ini ga? Kalau di rumah, si kecil menolak makan sendiri. Dia menjadi sangat manja, merengek, dan sangat lama makannya jika ia makan sendiri. Anehnya, kalau di sekolah, para guru melaporkan bahwa anak kita ini bisa makan dalam waktu 10 menit, fokus makan dan tidak pernah mengeluh apapun menu makanannya.
Dalam workshop ini, Mbak Ellen menjelaskan, pada dasarnya, secara intuitif, setiap anak tahu ada otoritas yang lebih besar dibandingkan dirinya; dan mereka membutuhkan otoritas itu sebagai panutan berperilaku. Jika anak-anak tidak menemukan otoritas itu pada sosok orangtuanya, maka dia akan mencarinya pada orang lain
Kami juga diberikan cara yang mudah diterapkan di rumah untuk menegakkan otoritas orangtua. Cara yang tegas tanpa beringas. Tetap lembut tanpa terlihat kemayu. Jadi saat kita membuat aturan di rumah, lalu si kecil tidak menaati aturan itu, kita tidak sedang menjadi kejam saat kita memberinya konsekuensi terhadap pelanggarannya.
Membiasakan kepatuhan bukan berarti kita harus menjadi orangtua yang otoriter.
Kita sedang mendidiknya untuk taat dan patuh sekaligus menumbuhkannya menjadi pribadi yang utuh sesuai kehendak-Nya.
Aduh, Mbak, ga jaman deh ngajarin anak taat dan patuh. Itu jadul banget. Anak sekarang gitu lhoh! Mana ada yang bisa diajarin begitu. Ini metode kuno, ketinggalan jaman.
Hi hi…yang nggak ikutan workshop ini dan hanya membaca sekilas artikel-artikel Charlotte Mason, kemungkinan besar akan berpikir demikian. Justru karena anak sekarang modelnya begitu, kita harus mendidik karakter mereka. Tapi coba tilik kembali banyaknya kasus anak-anak kecanduan gadget, susah diajak membaca buku, tidak semangat belajar, tidak bisa bersikap sopan di depan orang lain itu tanggung jawab siapa?
Ya. Kita orangtua. Saat kita tidak bisa bersikap sebagai orangtua yang punya otoritas mendidik dan menumbuhkan karakter baik pada anak-anak, nggak usah marah-marah kalau anaknya tidak bisa menaati aturan. Itu masih masalah taat pada orangtua. Agak besar dikit, dia akan kesulitan menaati aturan sekolah. Besar dikit lagi susah menaati aturan agama. Begitu dewasa dia tidak bisa mengikuti aturan sosial, aturan hukum, aturan negara, bahkan tak bisa disiplin menaati aturan dirinya sendiri.
Semua itu perlu latihan dan kebiasaan di rumah. Siapa pemulanya? Kita orangtua.
Saya percaya, apapun agamanya, akan selalu ada aturan yang mengharuskan kita untuk menghormati dan menaati orangtua. Kenapa?
Karena orangtua adalah perpanjangan otoritas Tuhan di bumi; di depan anak-anak mereka. Saat anak-anak lahir dari rahim ibunya, Ibu & Ayahnya secara langsung tanda tangan kontrak seumur hidup dengan Tuhan.
Jadi Laporan Pertanggung Jawabannya nanti diserahkan langsung ke Surga.
Salah satu syarat agar tugas orangtua ini bisa dilakukan dengan baik adalah, setiap orangtua harus tahu dan sadar dirinya sudah menjadi orangtua. Setiap orangtua bisa menerima dan menghargai dirinya sendiri sebagai orangtua dengan wewenang, hak, dan kewajiban yang menyertainya.
Nah ini langsung terkait dengan tugas yang diberikan Mbak Ellen. Ada banyak dari kita para orangtua masih harus berjibaku dengan diri sendiri sehingga di depan anak-anak, mereka tidak tampak kokoh berperan sebagai orangtua yang harus dipatuhi. Bagaimana anaknya mau patuh diminta taruh gadget, kalau Papanya pulang kerja masih bawa kerjaan dan menghadap komputer lagi? Bagaimana anaknya mau suka belajar, kalau Mamanya lebih suka nonton drama korea daripada membacakannya cerita? Orangtua harus memulai menyelesaikan dirinya sendiri agar ia bisa utuh di depan anak-anak mereka.

Dibukakan pemahaman demikian saat workshop, kami semua gantian menahan airmata (atau saya aja mungkin ya yang terlalu melodrama). Kayaknya kami ini banyak salah banget pada anak-anak. Pengen cepet pulan, peluk mereka, sambil bilang, “Maafin Mama/Papa, ya, Nak.”
Pada sesi kedua workshop ini, kami para peserta diajarkan teknik untuk membantu anak-anak mengelola emosi mereka.
Anak-anak di usia emas mereka, berjuang untuk mengendalikan diri. Terhadap emosi mereka, terhadap reaksi mereka pada situasi tertentu, atau perilaku mereka menghadapi lingkungan. Tugas kita sebagai orangtua, adalah melatih mereka untuk mengembangkan sikap yang tepat dalam mengenali emosi mereka sekaligus respon perilakunya.
PR banget yang satu ini. Karena biasanya ibuk-ibuk itu ya, kalau si kecil rewel, Emaknya ikutan rewel lanjut ngomel 😄.
Jika mau dirangkum, materi workshop ini benar-benar dibutuhkan oleh semua orangtua. Bahkan sangat disarankan untuk pasangan yang baru menikah. Jadi nanti kalau punya anak, mereka sudah siap lahir batin menjalankan peran sebagai orangtua.
Untuk jadwal Workshop Charlotte Mason, Mama/Papa bisa langsung pantau Instagram CMI. Tidak hanya dilangsungkan di Surabaya saja, tapi beberapa kota lain di Indonesia workshop ini juga diadakan.
Kalau tertarik mendalami lebih lagi tentang Charlotte Mason, bisa pesan buku Cinta yang Berpikir yang ditulis Mbak Ellen. Ini buku yang sangat bagus untuk dibaca.

Itu sekilas lepas tentang Workshop Charlotte Mason di Surabaya bulan September lalu. Saya menantikan seminar lainnya dari CMI di Surabaya.
