Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat mengirimkan pesan melalui WA. Singkatnya, pesan itu berisi tentang rasa syukurnya dikelilingi oleh para perempuan yang luar biasa sebagai sahabatnya. Indah kan ya? Iya, indah, sampai saya membaca kalimat penutupnya yang bertuliskan, “…aku sedih nggak bisa kayak kalian.”
Saya sempat terkikik kecil membacanya. Sejujurnya, di saat-saat tertentu, saya juga merasa demikian di antara para perempuan-perempuan hebat yang saya kenal.
Kalimat, ‘apalah saya ini, hanya ibu rumah tangga,’ atau ‘seneng ya bisa deket sama anak, saya harus kerja seharian,’ seringkali lalu-lalang dalam setiap percakapan para ibu-ibu.
Ada saat kalimat itu diucapkan sebagai canda; yang ditertawakan bersama. Namun ada saat kalimat itu diucapkan sepenuh hati sebagai kejujuran, keluhan, kerinduan, & (seolah) rasa tak berdaya tak punya pilihan.
Di masa lalu, ketika saya baru memulai peran sebagai ibu di rumah saja, kalimat itu sering saya kumandangkan keras-keras; dalam hati. Tidak bekerja di kantor dan mengurus bayi sendiri di rumah, berarti minim hubungan dengan manusia dewasa lain di dunia luar. Salah satu penghubung ke dunia luar tanpa perlu keluar adalah gadget. Keindahan yang ditampilkan media sosial, oh, begitu memesona dan berkilauan. Tinggal disesuaikan kita hendak melihat apa; ketik, dan muncullah.
Awalnya menghibur hati. Namun seiring waktu, dosisnya tidak bisa sama lagi. Lalu kita mulai melihat bayang-bayang semu di tiap jengkal kehidupan kita. Saat bercermin, bukannya menatap wajah sendiri dan tersenyum melihat jerawat kecil di ujung hidung, ada wajah orang lain yang terpampang di cermin.
“Kok wajahku ga secantik si A ya.”
“Duh…badan kok ga sebagus si B.”
Mengapa jadi sangat susah sekali melihat kejernihan realita di depan mata, merengkuhnya, dan mensyukurinya?
Karena kita menarik bayang-bayang orang lain dan ingin menjadikannya bayang-bayang kita.
Itu masih dari pengalaman saya yang menjadi ibu di rumah saja. Coba dengarkan pengalaman ibu bekerja di luar.
Melihat anaknya makan sendiri dengan lahap, dia bisa mendadak menangis tersedu-sedu. Merasa sangat bersalah karena tidak bisa setiap hari menyuapi anaknya makan, mengajarkan anaknya makan dengan benar, tiba-tiba anaknya sudah bisa makan sendiri.
Ada yang begitu?
Itu baru satu contoh. Masih dengan diri sendiri. Belum lagi nanti kalau bertemu dengan ibu-ibu lain. Pasti ada lagi yang kita bisikkan diam-diam dalam hati.
Setelah memiliki peran sebagai ibu, saya mempelajari banyak hal baru. Baik tentang diri sendiri, tentang dunia anak-anak, dunia para ibu, dan kehidupan.
Saya mengamati perubahan pola pikir dan emosi diri sendiri saat menjadi ibu bekerja, berubah ke ibu di rumah saja, lalu beberapa tahun belakangan menjadi ibu yang bekerja dari rumah. Inilah yang saya temukan.
Tak peduli, ibu bekerja atau tidak, perasaan ‘apalah saya ini dibandingkan kalian…’ akan selalu menghantui setiap pikiran dan emosi para ibu.
Tak perlu disangkal, terima saja. Itu memang bagian dari kerumitan pikiran perempuan. Bahkan di saat kita sudah memiliki semua yang kita butuhkan dan inginkan, ketika melirik pada kehidupan ibu yang lain, kalimat itu masih bisa terucap sangat lantang dalam sanubari.
“Kan kalimat itu baik kalau kita termotivasi untuk jadi lebih baik.”
Mungkin akan ada yang berpikir demkian.
Lebih baik versi siapa dulu?
Versi diri kita sendiri? Atau versi orang lain yang kita paksa jadi bagian hidup kita?
You must stop to think other Moms are better than you.
Because you are lovely and beautiful. God created you special; not like any others.
Start to embrace yourself. Love yourself.
Your anger, your sadness, your dreams, your hope…everything in you, are you.
Ya, mungkin kau seorang ibu yang hanya punya kegiatan mengasuh anak di rumah. Tapi tak ada yang bisa memanggang brownies coklat selezat yang engkau buat bersama si kecil.
Ya, mungkin kau seorang ibu dengan ukuran baju XXL. Tapi para sahabatmu selalu mencarimu saat engkau tak bisa berkumpul dengan mereka. Mereka mencari riang candamu yang selalu hadir ketika bersama-sama dengan mereka.
Ya, mungkin kau seorang ibu bekerja yang sering pulang larut malam dan jarang bisa hadir saat pertemuan wali murid di sekolah. Tapi banyak orang mengirimkan pesan melalui whatsapp-mu menanyakan tips-tips menggunakan produk make up yang sering kau gunakan.
Ya, mungkin engkau tidak bisa membelanjakan uangmu untuk membelikan teman-temanmu hadiah, tapi engkaulah yang paling telaten menghubungi mereka setiap minggu bertanya kabar, dan selalu membawa nama-nama mereka dalam doa-doa pribadimu setiap malam.
Setiap orang, setiap ibu, punya peran masing-masing dalam kehidupan. Disadari atau tidak, kita semua terjalin dalam sebuah jaring-jaring keperakan yang tidak terlihat.
Siapapun dirimu, Ibu, engkau istimewa. Berbahagialah.
***