Kenapa Harus Membaca Aesop Fabel?

on

Ketika Mbak Ellen Kristi menggunggah berita di Instagram bahwa dia sedang menerjemahkan kisah-kisah AESOP ke dalam Bahasa Indonesia dan menjadikannya satu buku, saya sangat bersemangat sekali. Saya pikir sudah saatnya ada buku dongeng untuk anak-anak yang berbahasa Indonesia dengan ejaan yang baik dan mendalam.

Menurut pendapat saya pribadi yang berkutat dengan buku dongeng sejak kecil, ada perbedaan yang terlihat jelas pada buku anak-anak di jaman saya kecil, dan saat Arel kecil.

Arel saya anggap beruntung karna dia lahir dengan kesempatan mendapat buku bacaan berlimpah, dan sudah banyak sekali ragam buku bacaan anak yang tersedia saat ini.
Berbeda dengan Mamanya ini. Yang harus menunggu pemberian buku bekas dari saudara yang lebih tua, menabung sedikit demi sedikit uang jajan, bahkan bungkus tempe pun pernah saya simpan karena ada dongengnya. Pada saat saya kecil, buku anak belum banyak ragamnya, dan masih termasuk barang mewah. Bisa langganan majalah anak tiap bulan saja, sudah luar biasa.


Hanya saja, saat saya membandingkan isi bukunya (khusus untuk buku cerita ya); gaya penulisan, pilihan bahasa, cara bercerita dan ilustrasi buku anak di Indonesia saat ini, saya agak sedih.
Ragam buku cerita anak boleh banyak, tapi yang menggunakan pemilihan bahasa dan cara bercerita yang merangsang pemikiran anak-anak masih sedikit. Kadang lebih menonjolkan gambar besar berwarna-warni, indah memang, tapi dengan tulisan cerita seadanya.

Saya termasuk kelompok (jika ada) pembaca buku anak yang penulisannya menggunakan kata-kata bersimbolis (macam puisi atau setidaknya menggunakan Ejaan Bahasa Indonesia). Tidak terlalu menyukai penulisan cerita bergaya langsung dan sederhana; khususnya untuk buku anak yang menginjak usia SD.

Contohnya:
Tulisan bergaya langsung dan sederhana :
“Belalang yang lapar minta makanan pada Semut.”

Tulisan berkata simbolis akan lebih ‘lebay’ kata orang sekarang.
Dengan malu-malu, Belalang yang kelaparan itu memohon agar diberi secuil makanan.”

Untuk pembaca pemula (di usia 3-5 tahun), buku dengan gaya penulisan langsung memang baik. Seperti pada buku The Very Hungry Caterpillar, atau How Much I Love You

Tapi untuk anak-anak di usia 6 tahun ke atas, buku anak dengan penulisan demikian terasa kering-tanpa emosi, dan tak membangkitkan komunikasi.

Itulah kelebihan yang saya temukan dari buku Aesop ini.

Buku ini memiliki 240 halaman, dengan 147 cerita pendek di dalamnya. Ilustrasinya dibuat oleh Milo Winter, gambarnya sederhana, dan pas menurut saya;


Owh…jangan terkecoh dengan banyaknya cerita pendek. Saya menguji satu cerita pendek pada Arel dalam buku ini. Cerita yang sudah dia tahu, seperti Tikus & Singa. Saya minta dia membaca ulang cerita itu . Arel sudah kelas 2 SD dan lancar membaca cerita berbahasa Indonesia. Harusnya tak sampai 5 menit ia tuntas menyelesaikan bacaan itu. Tapi yang terjadi, kami butuh 30 menit untuk menyelesaikan cerita 5 paragraf.

Kok lama?
Ada banyak kata-kata baru yang belum dikenali Arel. Seperti kata lelap, tergopoh, membahana. Ini membuatnya sering berhenti dan menanyakan artinya pada saya. Kadang saya menjelaskan langsung, kadang saya minta dia membuka sendiri Kamus Bahasa Indonesia online di HP, kadang kami berdiskusi membahas kata-kata baru tersebut.

Dari perkenalannya dengan kata-kata baru, dia mendapatkan gambaran peristiwanya, emosi tokohnya, dan makna katanya.

Jadi saat dia bertanya kata ‘dengan malu-malu‘, dan ‘secuil‘ saat membaca kalimat “Dengan malu-malu, Belalang yang kelaparan itu memohon agar diberi secuil makanan,” ia memaksa otaknya memutar film pendek seekor belalang yang memaksa diri untuk dikasihani dengan meminta makanan yang berukuran kecil.


Pertanyaan Arel juga memaksa saya belajar lagi tentang kata-kata ini. menjelaskannya dengan bahasa yang ia mengerti, menyelipkan emosi dalam memaknainya.

“Aduuuh, Mbak Nita, berarti harus ditemani dong baca bukunya? Nggak ada waktu saya”

Untuk seminggu pertama, saya banyak menjelaskan, dan berkali-kali mengulang kata-kata baru pada cerita di Buku Aesop Setelah itu Arel mulai terbiasa, tahu ritmenya, dan bisa mencari di KBBI online jka dia tidak bisa memahami kata-kata baru. Bahkan saat saat meminta dia menceritakan makna cerita yang ia dapatkan dari isi bacaannya, bahasa yang digunakannya berkembang semakin baik dari hari ke hari. Dari yang hanya 1 kalimat pendek, menjadi lebih 2-3 kalimat disertai alasan pemikirannya. Itu tuh kayak terbayar lunas jerih payah nemenin anak baca buku tiap hari.

(malah karena buku ini, Arel jadi antusias belajar peribahasa. Baginya peribahasa semacam teka-teki rahasia yang disembunyikan dalam kata-kata. Peribahasa favoritnya adalah Wajahnya Bersinar Bagai Rembulan. Maklum, dia suka sekali mengintip bulan dari loteng jemuran rumah kami. )

“Berarti cerita di buku ini termasuk sulit untuk dipahami ya?”

Untuk anak menginjak usia 7 tahun (masuk SD), buku ini seperti ‘naik kelas literasi’. Memberi tantangan baru. Satu judul cerita cukup pendek kok, sekitar satu halaman A5. Jadi kita bisa membiasakan anak membaca 1 cerita per hari saja. Kalau sudah terbiasa membaca dari kecil, biasanya malah bisa langsung 3-5 cerita per hari.

Alasan lain saya menganjurkan anak membaca buku-buku dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang baik dengan kata-kata baku adalah, untuk membiasakan mereka memahami literasi Bahasa Indonesia dengan baik.

Dengan profesi saya sebagai seorang guru, saya sedih saat murid-murid saya lebih paham bahasa asing daripada Bahasa Ibu-nya sendiri.

Kalau dulu, murid menanyakan arti bahasa asing saat ujian, sekarang terbalik.
Soalnya berbahasa Indonesia, dan saya harus beberapa kali menerjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris karena mereka tidak memahami arti katanya. Sedih sekali saya saat berada dalam situasi itu.

Di samping itu, anak-anak yang terbiasa membaca buku dengan pilihan bahasa yang baik, memiliki emosi dan keindahan, biasanya akan terasah kecerdasan emosinya, memahami orang lain dengan lebih mudah dari cara bicara saja (Arel tahu kapan saya bohong, kapan saya marah, kapan saya jujur hanya dari jawaban ‘NGGAK’ dengan intonasi yang berbeda ha ha…)

Jika anak-anak terbiasa dengan buku yang berbahasa baik dan kaya emosi, mereka akan mendidik dirinya sendiri untuk memahami arti bacaan. Mengajak pikirannya sendiri untuk mengolah data, mengaitkannya dengan peristiwa sehingga nantinya saat mereka berhadapan dengan buku-buku pelajaran yang makin banyak penjelasannya, mereka dapat memahami pelajarannya; bukan menghapal tulisannya.

Jadi saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca anak-anak juga orang tua juga untuk memperkaya buku berbahasa Indonesia yang baik, memiliki cerita yang penuh nasihat baik, dan sebagai jembatan komunikasi antara orang tua dan anak.

Untuk tahu buku anak lain yang bagus untuk dibaca silakan baca Kapten Janggut Api, Brambly Hedge, atau Cerita Asli Nusantara